Sanhedrin

dewan tertinggi agama Yahudi

Sanhedrin (bahasa Ibrani: סנהדרין‎; bahasa Yunani: συνέδριον,[1]) atau yang disebut juga Mahkamah Agama adalah dewan tertinggi agama Yahudi.[2] Kata Sanhedrin memiliki arti "suatu dewan yang terdiri atas 71 anggota".[3] Istilah Mahkamah Agama juga tidak sepenuhnya tepat, sebab lembaga itu memiliki sifat politis juga.[3] Di dalam Perjanjian Baru, Sanhedrin berperan di dalam pengadilan dan penyaliban Yesus (Markus 14:53-65, Matius 26:57-68, Lukas 22:54-55, dan Yohanes 18:19-24 12-14, 19-24).[3]

Ilustrasi Sanhedrin saat mengadili Yesus

Latar belakang

sunting

Lembaga Sanhedrin tampaknya telah ada sejak masa Alexander Yaneus memerintah pada awal abad ke-1 SM.[4] Ketika Yaneus meninggal dan digantikan oleh Alexandra Salome, sejumlah orang Farisi turut diangkat menjadi anggota Sanhedrin.[4]

Anggota Sanhedrin

sunting

Keanggotaan Sanhedrin sebenarnya tidak terlalu jelas.[2] Yosefus dan Perjanjian Baru menonjolkan sisi politis dari Sanhedrin, sedangkan tulisan para rabi Yahudi menonjolkan sisi keagamaannya.[2] Pada masa permulaan berdirinya lembaga ini, anggota Sanhedrin lebih banyak terdiri atas imam-imam senior dan wakil-wakil kaum aristokrat.[2] Kemudian pada masa Alexandra Salome, kalangan Farisi turut masuk ke dalamnya.[2]

Pada masa Yesus, ada tiga macam anggota Sanhedrin.[3] Pertama, ada sejumlah imam dari kalangan atas.[3] Kedua, ada sejumlah awam, yakni tua-tua Yahudi yang diambil dari kaum terkemuka Yerusalem.[3] Ketiga, ada sejumlah kaum Farisi yang memiliki keahlian dalam menafsir Taurat, yang mana merupakan golongan yang paling berpengaruh di antara rakyat jelata.[3] Lembaga Sanhedrin tersebut dipimpin oleh Imam Besar atau Imam Agung.[3]

Jenis Sanhedrin

sunting

Sanhedrin Besar

sunting

Sanhedrin Besar adalah sebutan bagi Sanhedrin yang berkedudukan di Yerusalem dan bertindak sebagai instantsi tertinggi dalam kehidupan internal bangsa Yahudi.[3] Sebagai lembaga tertinggi dalam masyarakat Yahudi, semua orang Yahudi harus taat kepadanya dan keputusan-keputusannya, bahkan kekuasaan mereka meliputi orang Yahudi di luar Palestina.[3]

Pemerintah Romawi membatasi kekuasaan Sanhedrin di bidang politis, sehingga hanya memberikan kuasa di bidang tata hukum sipil.[3] Hal itu sesuai dengan kebijakan Romawi, di mana gubernur hanya mengurus masalah yang menyangkut ketertiban umum, sedangkan masalah-masalah hukum yang lebih kecil diserahkan kepada para pejabat setempat yang menaati sistem-sistem lama dari masing-masing daerah.[5] Dalam hal ini, Sanhedrin dianggap sebagai pejabat setempat di Palestina yang memimpin orang-orang Yahudi, sehingga hak-hak untuk mempertahankan hukum Yahudi diakui.[5] Akan tetapi, secara keseluruhan, luasnya kekuasaan Sanhedrin tergantung pada kebijakan penguasa Roma yang sedang menjabat di Palestina.[3]

Sanhedrin Daerah

sunting

Selain Sanhedrin Besar yang merupakan lembaga pusat, terdapat pula semacam Sanhedrin setempat yang bersifat lokal dan hanya berwenang di bidang keagamaan.[3] Merekalah yang bertugas mengurus perkara-perkara keagamaan, termasuk perkara pidana dan internal Yahudi, dalam lingkup lokal.[3] Sanhedrin lokal ini terdapat pula di diaspora dan tunduk terhadap Sanhedrin Besar.[3] setelah Sanhedrin Besar tidak ada lagi, lembaga-lembaga semacam Sanhedrin lokal itulah yang melanjutkan tradisi Yahudi.

Akhir riwayat

sunting
 
Pengepungan dan penghancuran Yerusalem oleh tentara Romawi pada Perang Yahudi Pertama(oleh David Roberts, 1850)

Lembaga Sanhedrin hilang setelah pemberontakan Yahudi pertama berhasil ditumpas oleh pemerintah Romawi.[5] Hal itu dikarenakan dihancurkannya Bait Suci pada tahun 70 M, yang disertai penghapusan jabatan imam dan Sanhedrin.[5] Setelah Sanhedrin Besar tidak ada lagi, lembaga-lembaga semacam Sanhedrin lokal yang turut melanjutkan tradisi Yahudi bersama para rabi.

Referensi

sunting
  1. ^ Lexicon Results for sunedrion (Strong's 4892)
  2. ^ a b c d e S. Wismoady Wahono.1986. Di Sini Kutemukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 326-327
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o C. Groenen. 1984. Pengantar Ke Dalam Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 51-52.
  4. ^ a b (Indonesia)Lawrence E. Toombs. 1978. Di Ambang Fajar Kekristenan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 64.
  5. ^ a b c d (Indonesia)John Stambaugh, David Balch. 1997. Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 21.

Pranala luar

sunting