Precedence: bulk Dear Joko dan Riri, Ini suratku yang kesekian. Protes Joko bisa aku mengerti, kenapa aku tak menulis sebuah buku saja. Jika kalian ingin membaca buku tentang Timor Timur, cobalah kalian pergi ke toko buku. Kini semakin banyak buku yang dijual di pasaran. Selain di toko-toko buku kalian juga bisa menghubungi NGO yang punya kepedulian pada persoalan Timor Lorosae. Tentu saja kalian harus kritis ketika memilih. Sebab, ada buku yang ditulis oleh orang-orang pemerintah atau yang pro pemerintah, yang tentu saja bisa kalian tebak apa isinya. Apalagi kalau bukan memutarbalikkan fakta. Joko, aku lebih mudah menulis surat untuk kalian dibandingkan kalau aku menulis sebuah buku. Tapi, suratku ini tentu saja bukan asal ngomong. Sebagian dari yang pernah aku tulis juga hasil dari membaca sekian buku, diskusi dengan teman-teman maupun pengalamanku selama aku berada di Bumi Lorosae. Jangan khawatir, aku masih akan terus menulis surat untuk kalian. Sebab, sejak beberapa bulan terakhir ini aku 'kan resmi menjadi anggota barisan "pengangguran tak kentara", sehingga aku punya banyak waktu untuk membaca dan menulis. Kali ini aku akan menceritakan sebagian profil pimpinan organisasi politik dan milisi pro otonomi. Paparan sosok para pendukung Jakarta itu memang bukan atas dasar wawancara dengan mereka, tapi kalau dalam forum diskusi bisa dikatakan sebagai rangkuman dari diskusi bersama Manuel, Jose dan Ronaldo ketika kami masih sering bertemu di Bumi Lorosae. "Mereka itu pengkhianat bangsa," kata Manuel, suatu kali. Kalian pasti kenal dengan wajah Francisco Lopes da Cruz. Laki-laki berbrewok lebat ini telah lama berpetualang dalam urusan politik Timor Lorosae. Ia adalah pimpinan Partai UDT (Uni�o Democr�tica Timorense), partai yang ingin menjadikan Timor Lorosae melakukan federasi dengan Portugal. Ia ingin Timor Lorosae menjadi daerah otonom dalam federasi Portugal. Lopes da Cruz memulai petualangan politiknya ketika ia berkenalan dengan Ali Moertopo, arsitek invasi Indonesia ke Timor Lorosae. Setelah pertemuannya dengan Ali Murtopo, ia mulai melakukan manuver untuk menggeser Fretilin yang saat itu sedang berkoalisi. Akhirnya dengan dukungan ABRI, UDT di bawah kepemimpinannya melakukan kudeta terhadap Fretilin. Ali Murtopo kemudian berhasil meyakinkan Lopes, sehingga ia mengubah haluan UDT dari ide federasi dengan Portugal menjadi mendukung integrasi dengan Indonesia. Sejak saat itu, ia terlibat dalam berbagai upaya rekayasa yang ingin mengatakan, bahwa terjadi perang saudara di Timor Lorosae, sehingga "intervensi" Indonesia dibenarkan. Setelah "integrasi", Lopes da Cruz diangkat menjadi wakil gubernur, jabatan tertingginya dalam pemerintahan Timor Lorosae. Kemudian ia "diamankan" di Jakarta sambil "ditatar" oleh BIA (Badan Intelijen ABRI) dan Deplu sebelum ditugaskan sebagai Duta Besar Keliling untuk urusan Timor Timur. Upaya manipulasi masalah Timor Lorosae di berbagai forum dunia mulai dijalankannya secara intensif di bawah "komando" Deplu. Dalam kapasitasnya sebagai Dubes Keliling, ia pun berkolaborasi dengan Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut dengan mengadakan pertemuan rekonsiliasi London. Rekonsiliasi itu membawa Abilio Ara�jo, mantan pemimpin Fretilin untuk terlibat di dalamnya. Ini adalah salah satu upaya untuk menggembosi kekuatan CNRM (Conselho Nacional de Resistencia Maubere) saat itu. Tak banyak sukses, selain kekayaan materi yang ia peroleh dalam kapasitasnya sebagai Dubes Keliling. Malah dalam pengambilan keputusan mengenai dua opsi oleh pemerintahan Habibie, Lopes da Cruz mengaku kecewa. Ia merasa dilangkahi oleh Habibie dan Ali Alatas. Ia mengaku pada sejumlah jurnalis setelah dimumkannya dua opsi, "Saya tidak tahu menahu mengenai kebijakan dua opsi tersebut." Tapi, Lopes da Cruz memanfaatkan secara serius jabatannya itu untuk mengeruk kakayaan. Selain memiliki rumah mewah di Jakarta beserta fasilitasnya, Lopes juga memiliki "istana" di Sukabumi dan sebuah rumah mewah di Australia. Setelah Kesepakatan 5 Mei New York ditandatangani oleh Indonesia, Portugal, dan PBB, yang menetapkan pemungutan suara mengenai tawaran otonomi dari Habibie, Lopes da Cruz lebih banyak memimpin BRTT (Barisan Rakyat Timor Timur), kelompok politik pro otonomi yang dibentuknya. Melalui BRTT, Lopes da Cruz memulai kampanye dengan "memaksa" seluruh pegawai negeri sipil menjadi anggota BRTT. Lopes da Cruz kemudian berkeliling dari desa ke desa agar memperoleh dukungan. Tapi kampanye yang ia lakukan selalu penuh ancaman. Ia pun selalu menteror dengan lantang dari atas panggung: "Kalau otonomi menang, darah akan menetes, tapi kalau otonomi kalah, darah akan mengalir!" Ancaman yang ia lontarkan di berbagai kesempatan itu ternyata bukan omong kosong. Karena sebelum dan setelah pengumuman hasil referendum pada tanggal 4 September lalu, satuan-satuan milisi pro otonomi siang dan malam menjarah harta benda milik rakyat sipil kemudian membakari rumah mereka. Kita pun tahu para milisi atas dukungan tentara membunuhi penduduk sipil. Dengan memanfaatkan posisinya sebagai Dubes Keliling, Lopes da Cruz membangun hubungan yang mesra dengan semua pimpinan milisi di Timor Lorosae. Ia dikenal cukup nekat untuk mencapai ambisi-ambisinya, sehingga ia diduga keras berada di belakang kelompok milisi pro otonomi seperti Aitarak di Dili, ABLAI [Aku Berjuang Lestraikan Amanat Integrasi] di Manufahi dan Mahidi [Mati Hidup dengan Integrasi] di Ainaro, serta milisi di daerah-daerah di Timor Lorosae yang melakukan teror dan intimidasi sebelum dan sesudah referendum. Joko dan Riri, aku menyaksikan dia kabur dari Dili ke Jakarta, pada 6 September lalu. Menurut kabar, ia bersama keluarganya saat ini telah berada di luar negeri. Riri, tokoh lain yang kami bahas adalah Salvador Ximenez Soares. Ia adalah salah seorang kader integrasi sejak awal invasi. Ia memulai kariernya sebagai ketua KNPI [Komite Nasional Pemuda Indonesia] di sana. Kemudian ia diangkat sebagai anggota MPR-RI Utusan Daerah selama dua periode. Tokoh yang satu ini setiap kali menjelang pemilihan umum selalu bersikap keras terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia di Timor Lorosae. Sikap keras ini ditujukan kepada pemerintah pusat agar posisinya sebagai anggota MPR-RI tidak digeser. Maksudnya, agar pemerintah pusat tak melupakannya. Namun, pada bulan Juni 1999, ia direcall oleh DPRD TK. I Timor Timur. Setelah itu ia berbalik haluan dengan mulai mendekati tokoh-tokoh pro kemerdekaan. Bahkan sempat mengikuti sebuah kongres pemuda pro kemerdekaan di Jakarta. Sejak saat itu, Salvador terlibat dalam konflik kepentingan dengan Armindo Soares Mariano, Ketua DPRD Tk. I Timor Timur. Belakangan Armindo Soares sendiri menjadi pimpinan Aliansi Pro Otonomi. Salvador juga memimpin Suara Timor Timur (STT), satu-satunya koran di sana. Setelah tak lagi duduk sebagai anggota DPRD, ia meneruskan tugasnya di STT. Menjelang referendum, ia diangkat sebagai Sekretaris Jenderal BRTT dan bersama Lopes da Cruz, ia melakukan kampanye dari desa ke desa di penjuru wilayah Timor Lorosae. Dalam proses referendum, melalui STT Salvador memainkan peran penting dalam proses sosialisasi dan kampanye otonomi. STT yang notabene pernah mendapat dukungan dana dari The Asia Foundation, tapi kemudian dihentikan karena mereka berubah menjadi corong propaganda pemerintah Jakarta. Kabarnya, setelah itu STT mendapat dana dari NED (National for Endowement for Democracy), satu lembaga yang bermarkas di New York. Dan STT tak berubah. Koran itu tetap memainkan peran sebagai corong pro otonomi. Setiap hari, STT menjadikan kegiatan BRTT dan kelompok pro otonomi lainnya sebagai headline. Sejak awal berdirinya, Salvador telah membangun jaring nepotisme yang kemudian menjadi hambatan dalam manajemen. Korupsi dalam manajemen STT merajalela karena ulah Domingos Saldanha, manajer perusahaan yang notabene adalah adik kandungnya. Sebagai pucuk pimpinan di koran STT Salvador dikenal tak peduli pada nasib para jurnalisnya. Ketika kantornya diserbu dan diporakporandakan oleh milisi beberapa waktu lalu, ia malah hijrah ke Jakarta dan kemudian pergi ke Amerika Serikat. Bahkan, setelah referendum ia pun tak mau tahu bagaimana nasib jurnalisnya itu. Joko, Domingos Soares das Dores, S.H., MH adalah teman sealumni Heru. Domingos melanjutkan pendidikan sarjana hukum dan magister hukum di Universitas Airlangga, di Surabaya setelah ia mengantongi ijazah sarjana muda di Portugal. Domingos memulai karier di bidang pemerintahan sebagai wali kota Dili. Terakhir ia menjabat sebagai bupati Dili. Ia juga pernah menjadi salah satu kandidat gubernur bersama Abilio Osorio Soares. Tapi karena ia tidak mendapat dukungan ABRI, yang saat itu Jendral Prabowo memainkan peranan penting, maka peluang menjadi gubernur hanya tinggal impian. Kegagalan itu menimbulkan konflik yang berkepanjangan dengan gubernur terpilih: Abilio Osorio Soares. Rupanya ambisi menjadi gubernur telah membuat Domingos selalu memanfaatkan setiap kesempatan mengambil simpati pemerintah Jakarta. Maka ketika Habibie mengeluarkan dua opsi, Domingos langsung menghimpun beberapa orang intelektual Timor Lorosae dan membentuk FPDK (Forum Pendukung Demokrasi dan Keadilan), salah satu organisasi pro otonomi. Dengan memanfaatkan posisinya sebagai bupati Dili, Domingos memaksa banyak sarjana Timor Lorosae menjadi anggota FPDK. Dalam kapasitasnya sebagai bupati ia kemudian membentuk Pam Swakarsa di Kabupaten Dili. Konon, FPDK mendapat banyak bantuan dana dari pemerintah pusat untuk membentuk cabang di berbagai kabupaten. Karena melimpahnya anggaran dari pemerintah untuk kegiatan FPDK, maka kegiatan mereka tidak hanya dikonsentrasikan di Timor Lorosae, tapi juga melakukan kampanye dan propaganda di beberapa kota di Jawa, seperti Jakarta, Yogyakarta dan juga di Denpasar. Rumah Domingos yang bersebelahan dengan Gereja Motael Dili, kemudian dijadikan sebagai kantor pusat FPDK. Setiap hari anggota FPDK dan pimpinan milisi berkumpul di rumah itu. Menurut saksi mata, seluruh anggota FPDK termasuk sang bupati memiliki senjata otomatis. Selama masa kampanye ia juga dikenal galak. Rupanya masa kampanye itu dipakai untuk mengancam sejumlah tokoh pro kemerdekaan dan menghasut anggota milisi untuk membumihaguskan Timor Lorosae jika hasil referendum dimenangkan oleh pro kemerdekaan. Belakangan, Domingos memimpin beberapa pimpinan pro otonomi mengajukan protes kepada UNAMET dan menolak hasil referendum itu, karena menurut mereka UNAMET dianggap tidak netral. Ini profil tokoh yang lain lagi. Armindo Soares Mariano sudah sejak lama melakukan kolaborasi dengan dengan militer, terutama dengan gerombolan pimpinan Prabowo. Armindo adalah salah seorang kandidat gubernur bersama Domingos. Tapi, impiannya pun kandas di tengah jalan. Kegagalannya ini menyebabkan meruaknya konflik yang berkepanjangan antara Armindo, Domingos dan Abilio Osorio. Ia juga pernah terlibat dalam upaya pembunuhan Uskup Belo dengan mengirim roti yang mengandung racun, sekitar tahun 1989. Tapi upaya pembunuhan ini gagal. Atas perintah Armindo Mariano banyak anak muda pro kemerdekaan yang dieksekusi oleh militer. Sorry, aku lupa menanyakan kenapa pemuda pro kemerdekaan ini harus dibunuhi oleh tentara. Armindo memulai kariernya di Dinas P & K Tk. I Timor Timur kemudian menjabat sebagai bupati Dili. Jabatannya yang terakhir adalah ketua Golkar yang memberi jalan menjadi ketua DPRD TK. I Timor Timur hingga referendum. Armindo memiliki sebuah rumah mewah di Semarang dengan beberapa mobil mewah. Karena terjadinya konflik di antara ketiga elit itu, maka ketika menghadapi referendum, Armindo tidak bergabung dengan FDPK, tapi ia membentuk kelompok sendiri yang diberi nama "Aliansi Kelompok Pro Otonomi". Namun aliansi itu tak memiliki cabang-cabang seperti FPDK dan BRTT. Selama masa kampanye, ia memunculkan isu rasialis dan fitnah murahan para tokoh pro kemerdekaan. Ia misalnya, mengatakan bahwa kebanyakan tokoh pro kemerdekaan adalah kaum peranakan Portugis (mestizo) dan Arab, seperti Ramos Horta dan Mari'e Alkatiri. Tak hanya itu tingkah Armindo. Ia juga menjelek-jelekan tokoh pro kemerdekaan lainnya dengan mengatakan, para pimpinan pro kemerdekaan hanya akan membawa bencana bagi rakyat Timor Lorosae. Secara tegas, dalam berbagai kesempatan kampanye, Armindo mengajak milisi pro otonomi untuk bersiaga penuh meneruskan perang jika kelompok pro otonomi kalah. Pada pasca referendum, ia segera melarikan diri dari Dili dan bergabung dengan Domingos melakukan kampanye penolakan hasil referendum di Jakarta. Drs. Basilio Diaz Araujo, MA adalah tokoh muda pro otonomi yang dikenal sangat keras kepala. Sejak awal Basilio menolak ide pelaksanaan referendum. Dalam berbagai kesempatan ia mengatakan, "Rakyat Timor Lorosae tidak membutuhkan referendum." Ia tampak ingin memaksakan ide otonomi kepada rakyat Timor Lorosae. Baginya, rakyat hanya boleh diijinkan untuk memilih alternatif otonomi, tidak ada alternatif kedua: merdeka. Demikian iinterpretasi Basilio atas Kesepakatan 5 Mei 1999. Tentu saja pemikirannya itu dijadikan sebagai bahan kampanye di mana-mana. Basilio pada awal-awal integrasi adalah seorang pemuda militan pro kemerdekaan. Ia pernah hidup dalam lingkungan pastoran di Baucau dan menjadi anak angkat salah seorang pastor di Baucau. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah di Externato Sao Jose atas upaya para pastor, Basilio lalu meneruskan kuliahnya di Fakultas Sastra, Jurusan Bahasa Inggris, di Universitas Kristen Indonesia, Jakarta. Semasa kuliah di Jakarta, karena kesulitan biaya, ia mulai mencari jalan untuk menambah uang saku. Basilio pun mencoba-coba mendekati Jenderal Prabowo yang saat itu sedang menyiapkan kader-kader muda pro integrasi. Setelah menyelesaikan kuliah di UKI, atas lobby Prabowo Prabowo, ia melanjutkan ke program magister linguistik di salah satu universitas di Inggris. Di sana, Basilio banyak bergaul dengan diplomat-diplomat Indonesia. Lagi-lagi ia menempuh jalan pintas untuk mendapat fasilitas dan sekaligus mencari kesempatan untuk melobby pemerintah Indonesia. Tujuannya jelas: untuk meraih posisi tertentu sepulangnya ke Timor Lorosae. Rupa-rupanya ia berambisi menjadi bupati Aileu. Sambil bekerja pada Bappeda TK. I Timor Timur, dengan berbagai cara tetap melobby pejabat pemerintahan pusat dan pejabat pemerintah TK. I Timor Timur untuk memuluskan jalan sebagai bupati Aileu. Ia bahkan berkonsultasi dengan sejumlah paranormal di Jawa agar ambisinya itu terkabul, tapi ternyata upayanya sia-sia. Pada masa referendum Basilio dikenal sebagai juru bicara FPDK. Setelah referendum usai, Basilio ternyata juga merangkap sebagai juru bicara para milisi yang telah melakukan pembantaian massal (bersama TNI) di Timor Lorosae. Ia selalu muncul dengan hasutan-hasutan destruktif kepada milisi pro otonomi dengan mengatakan, "Setelah referendum, Timor Lorosae akan dibagi dua bagian wilayah". Kabupaten Maliana, Suai, Oekusi, Liquica, Ainaro dan Aileu akan menjadi kabupaten otonomi dalam Negara Kesatutan Republik Indonesia, sedangkan sisanya akan menjadi negara merdeka. Karena itu, Basilio sering memanipulasi dengan mengatakan kepada publik bahwa penghitungan suara akan dilakukan per kabupaten, sehingga bisa diketahui secara pasti berapa angka yang mendukung otonomi dan berapa yang menolak otonomi. Kalian pasti pernah mendengar nama Cancio Lopes de Carvalho. Ia adalah anak pasangan Mateus Lopes de Carvalho dan Margarida Lopes de Carvalho. Oleh kebanyakan masyarakat di desa Cassa, Kec. Ainaro ia dikenal sebagai anak raja di desa itu. Pendidikan anak ke-4 dari 10 bersaudara ini sangat kacau balau. Konon, ia hanya menyelesaikan pendidikan di tingkat SMP di Ainaro kemudian melanjutkan SMA di Kupang. Kali ini pun ia tak bisa melanjutkan karena ia menghamili seorang anak perempuan. Sekembalinya ke Timor Lorosae, ia menjadi pengangur. Cancio diketahui mulai terlibat dalam kegiatan intelijen bersama ABRI pasca pembantaian Santa Cruz, pada 1991. Bermula dari ajakan kakaknya Drs. Francisco Carvalho yang saat itu menjadi salah seorang anggota SGI [Satuan Gabungan Intelejen]. Pasca pembantaian Santa Cruz, Francisco Carvalho bersama SGI menghimpun pemuda-pemuda yang notabene orang tuanya adalah pengikut APODETI, untuk membentuk pasukan milisi yang kemudian diberi nama Pasukan Sukarelawan. Oleh SGI di Ainaro, Cancio dipercaya sebagai sang komandan Pasukan Sukarelawan. Sama dengan tugas SGI pada umumnya, Pasukan Sukarelawan di bawah pimpinan Cancio juga melakukan teror, intimidasi dan pembunuhan terhadap penduduk sipil, yang oleh mereka dianggap sebagai pendukung pro kemerdekaan. Rekor kekejaman Pasukan Sukarelawan tak mungkin dilupakan oleh rakyat Ainaro. Dua tahun lalu, Cancio bahkan pernah memperkosa istri Jose de Fatima yang tengah mengandung 7 bulan. Akibatnya, perempuan itu keguguran. Pada Januari 1999, Cancio bersama SGI menembak mati sejumlah pemuda di desa Manutasi. Reputasi kekejaman Cancio tak hanya dilakukan di Ainaro Pembantaian besar-besaran dilakukan lagi oleh Cancio dan SGI di Kecamatan Zumalai, Kovalima pada tanggal 12 Januari 1999. Sedangkan pada April 1999, Cancio sekali lagi bersama SGI membunuh sejumlah mahasiswa Universitas Timor Timur yang tengah melakukan KKN di Suai. Bersamaan dengan angin segar penawaran dua opsi oleh Pemerintah Jakarta, Cansio kembali menghidupkan organisasinya dengan nama baru: Mahidi. Dan ia menjadi pucuk pimpinan milisi yang dikenal dengan singkatan: Mati Hidup Demi Integrasi. Sedangkan adiknya diangkat menjadi wakil komandan. Untuk memperkuat operasi Mahidi, Cancio dengan dukungan SGI membentuk cabang Mahidi di seluruh desa-desa di wilayah Kabupaten Ainaro. Menjelang pelaksanaan referendum aktivitas teror dan intimidasi serta pembunuhan terus dilakukan di seluruh desa. Penduduk dipaksa untuk memilih otonomi luas dalam referendum. Para komandan kompi di tiap desa diperintahkan pula untuk memaksa, menteror dan mengintimidasi, bahkan membunuh penduduk bila tidak menjadi anggota Mahidi. Dalam setiap operasinya, Cancio secara disiplin melakukan koordinasi dengan SGI dan pimpinan milisi pro otonomi lainnya. Terakhir, pasca referendum, Cancio lagi-lagi melakukan aksi kekejamannya dengan maksud untuk membumihanguskan Timor Lorosae. Suatu strategi besar militer yang wajib dijalankan oleh semua komponen pro otonomi di Timor Lorosae. Joko dan Riri, kalian pasti sudah merasa kenal dengan Eurico Guterres [28]. Lelaki kelahiran Uatulari Kab. Viqueque ini adalah seorang pemuda didikan Prabowo semasa Letjen. (purn). Prabowo masih aktif. Anak muda ini sangat frustasi karena ayahnya dibunuh oleh TNI, kemudian ibunya diperkosa lalu dibunuh oleh TNI pada saat invasi. Sebelum pembantaian Santa Cruz, Eurico aktif dalam kelompok klandestin dan ia menggunakan nama samaran Santo Antonio. Ia bersama beberapa kawannya terlibat dalam rencana pembunuhan Presiden Soeharto saat berkunjung ke Timor Lorosae pada pelaksanaan Munas Pramuka, Oktober 1988 lalu di Dili. Namun rencana ini tidak terlaksana. Eurico menamatkan pendidikan SMP di Dili lalu melanjutkan ke bangku SMAK Hati Kudus Yesus Becora, di Dili Timur. Kalian jangan heran, semenjak SMA ia mulai berkenalan dengan anggota SGI dan Kopassus. Bisa ditebak sejak itu lelaki berambut gondrong itu menjadi informan tentang kegiatan klandestina. Karena keterlibatannya dalam aktivitas SGI, Eurico kemudian diasingkan dari pergaulan klandestina di Dili. Setelah gagal menyelesaikan SMA-nya di Dili, ia pindah ke Suai. Di Suai ia juga tak menyelesaikan pendidikannya karena menghamili anak gadis. Tapi karena kedekatannya dengan aparat keamanan setempat, ia berhasil "membeli" ijasah SMA yang kemudian dijadikan modal untuk melanjutkan pendidikan di STIE, Dili pada 1997. Pemuda brandal ini mulai aktif sebagai preman integrasi ketika Prabowo membentuk organisasi Garda Muda Penegak Integrasi (Gadapaksi). Oleh Prabowo, Eurico dijadikan salah satu pimpinan Gadapaksi. Sejak itu, Eurico diberi berbagai macam fasilitas oleh SGI dan Kopassus atas perintah Prabowo dan Zacky Anwar Makarim. Ia bahkan mendapat peluang menjabat sebagai bandar judi yang dikenal dengan bola guling di Dili, yang anggotanya kebanyakan pemuda putus sekolah. Keterlibatanya dalam Gadapaksi menyebabkan ia pernah bermasalah dengan Gubernur Timor Timur, Abilio Osorio Soares. Ketika itu Abilio pernah dituduh menggelapkan uang Gadapaksi sebesar Rp. 250.000.000. Saat itu, ia merencanakan untuk menggugat Abilio, tapi karena ditengahi "bos" mereka (baca: Prabowo), maka Eurico pun membatalkan niatnya. Eurico semakin menggila pasca pengumuman referendum. Salah satu bosnya yang masih sangat aktif, Mayjen. Zacky Anwar Makarim langsung memberi tugas kepada Eurico agar terus berkoordinasi dengan SGI dan Kopassus. Atas restu itu Eurico segera membentuk kelompok milisi pro otonomi, yang dikenal dengan nama Aitarak (bhs Tetun artinya duri). Atas dukungan SGI, Eurico mulai melancarkan operasi pembantaian di Bumi Lorosae. Pada tanggal 17 April lalu bertepatan dengan upacara pengukuhan milisi Aitarak, Eurico bersama dengan anggotanya melakukan penyerangan ke rumah kediaman Manuel Carascalao, yang juga Sekretaris Gerakan Rekonsiliasi dan Persatuan Rakyat Timor Timur (GRPRTT). Dalam penyerangan itu dilaporkan sedikitnya 50 orang lebih dibunuhnya, termasuk putra satu-satunya juga bernama Manuel Carrascalao. Pada bulan berikutnya, 10-11 Mei Eurico juga memimpin penyerangan di kampung Quintal Bo'ot desa Santa Cruz, Dili yang menewaskan sejumlah penduduk sipil. Sebelum melakukan penyerangan, menurut keterangan beberapa anggota milisi yang dipaksa menjadi milisi, Eurico selalu melakukan koordinasi dengan SGI dan Kopassus serta beberapa pimpinan pro otonomi antara lain Basilio Araujo, Francisco Lopes da Cruz, Armindo Soares Mariano dan Joao Tavares. Kebiadaban Eurico semakin tampak setelah pengumuman referendum. Ia bersama TNI dan kelompok milisi lainnya membumihanguskan Timor Lorosae. Kelompok Aitarak bahkan memanfaatkan kantor Polda Timor Timur di kawasan Komoro sebagai markas. Dengan mudah Eurico bersama kelompoknya menyapu bersih pendukung pro kemerdekaan yang ada di antara masyarakat yang mencari perlindungan di kantor Polda. Ketika Eurico dan kelompoknya melakukan aksinya pimpinan dan anggota polisi hanya menonton saja, bahkan ikut membantu Eurico dalam melakukan aksi brutalnya itu. Pasca pengumuman referendum ia selalu berkata lantang, "Agar elit politik tak meninggalkan Timor Lorosae. Saya akan terus mendampingi rakyat di sini." Tapi apa yang terjadi? Ia pun tak bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Ia sudah lama diketahui berada di wilayah Indonesia. Aku dengar dia sudah berada di Jakarta. Joko dan Riri, masih ada sejumlah tokoh yang perlu kalian ketahui kelakuannya yang biadab. Mungkin, kita harus mengasihani mereka, ya? Mereka bergabung dengan kelompok pro otonomi dan tentara Indonesia tentu demi uang dan jabatan. Tapi mereka lupa bahwa kekayaan dan jabatan bisa saja raib dalam sekejap. Aku lupa menanyakan pada Manuel, Neves, Jose atau Ronaldo, setelah Timor Lorosae resmi menjadi negara yang merdeka, bisakah rakyat di Bumi Lorosae menerima mereka seandainya mereka tetap ingin menjadi warga negara Negara Timor Lorosae. Ri, aku mau jalan-jalan bersama Ita, Sisca dan Nasir ke pertokoan karena mereka akan mengantarkan aku membeli jeans. Maukah kamu bergabung dengan kami? Bukan untuk ngeceng atau buang-buang duit di masa sulit seperti saat ini. Kamu tahu 'kan semua pakaianku tak sempat aku bawa ketika aku harus segera meninggalkan Dili, sebulan lalu. Jika kamu mau, coba kamu hubungi Nasir di kantornya. Aku tunggu kabarnya. Salamku untuk Esty, Eric dan Maya. Bogor, 7 Oktober 1999 Peluk dan Cium, Pratiwi ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html